Arsip Tag: tabligh akbar

Bulan Muharram Dan Puasa Muharram

Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini memilki keutamaan yang sangat besar.

Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al-Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.1

Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan berbuat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }

Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan itu” (QS At-Taubah: 36)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((… السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَان.))

Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat bulan haram, tiga berurutan, yaitu: Dzul-Qa’dah, Dzul-Hijjah dan Al-Muharram, serta RajabMudhar yang terletak antara Jumada dan Sya’ban. “2

Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ }

Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah berkata:

(إنَّ الظُّلْمَ فِي الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ أَعْظَمُ خَطِيْئَةً وَوِزْراً مِنَ الظُّلْمِ فِيْمَا سِوَاهَا، وَإِنْ كَانَ الظُّلْمُ عَلَى كُلِّ حَالٍ عَظِيْماً، وَلَكِنَّ اللهَ يُعَظِّمُ مِنْ أَمْرِه مَا يَشَاءُ.)

“Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”3

Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata:

(…فَجَعَلَهُنَّ حُرُماً وَعَظَّمَ حُرُمَاتِهِنَّ وَجَعَلَ الذَّنْبَ فِيْهِنَّ أَعْظَمُ، وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ وَاْلأَجْرُ أَعْظَمُ.)

“…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”4

Haramkah berperang di bulan-bulan haram?

Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

{ فَإِذَا انسَلَخَ الأشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ }

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS At-Taubah: 5)

Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut diperbolehkan.

Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur ulama. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan Hunain.5

Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram

Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang lainnya.

Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram)

Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

((…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ.))

… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”6

Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

(كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَه.)

“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa ‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” 7

Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya

Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharram, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada tahun tersebut.

عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ, قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: (( فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ.)) قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 (Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”8

Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut:

(( صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ ، صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.))

Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya satu hari.”9

Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan haditsnya).

Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram dan hal tersebut disunnahkan.

Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari ‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah.

Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh

Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari ‘Asyura ini, sebagai berikut:

  1. Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
  2. Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.
  3. Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram.
  4. Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram.

Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam Ahmad dan sebagian madzhab Abi Hanifah.

Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan oleh Rasulullah selama beliau hidup.

Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih?

Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam menyediakan makanan dan lainnya.

Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas meninggalnya Husain.

Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung mereka dengan benda-benda tajam.

Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: (( لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ.))

Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan orang-orang di masa Jahiliyah.”10

Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat terbunuh?

Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira layaknya ‘idul-fithri.

Mereka berdalil dengan hadits lemah:

(( مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِي سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ.))

Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari ‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun tersebut.”11

Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya.

Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini bermanfaat. Amin.

Daftar Pustaka
  1. Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi.
  2. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An-Nawawi.
  3. Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq.
  4. Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. http://www.islamlight.net/
  5. Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al-Mubarakfuri.
  6. Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki (footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.
Catatan Kaki

1 Lihat penjelasan As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim tentang hadits di atas.

2 HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383.

3 Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793.

4 Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791.

5 Lihat Tafsir Al-Karim Ar-Rahman hal. 218, tafsir Surat Al-Maidah: 2.

6 HR Muslim no. 1162/2746.

7 HR Al-Bukhari no. 2002.

8 HR Muslim no. 1134/2666.

9 HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 8189 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini lemah.

10 HR Al-Bukhari 1294.

11 HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari Abdullah bin Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 3513,3514 dan 3515 dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan jalur tersebut lemah dan tidak mungkin saling menguatkan, sebagaimana dijelaskan dengan rinci oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6824.

Penulis: Ustadz Sa’id Ya’i Ardiansyah, Lc., M.A.

Artikel Muslim.Or.Id

http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/bulan-muharram-dan-puasa-muharram.html

Seandainya Agama dengan Logika

Sebagian kalangan ada yang berprinsip, jika ada dalil yang bertentangan dengan logika, maka tetap logika yang lebih dikedepankan. Itulah sikap sebagian pengagung akal. Padahal agama Islam sejatinya bukan didasarkan pada logika, namun Islam itu manut dan ikut pada apa yang dikatakan dalil walau terasa bertentangan dengan logika.

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).” (HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Kata Ash Shon’ani rahimahullah, “Tentu saja secara logika yang lebih pantas diusap adalah bagian bawah sepatu daripada atasnya karena bagian bawahlah yang langsung bersentuhan dengan tanah.” Namun kenyataan yang dipraktekkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah demikian. Lihat Subulus Salam, 1: 239.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Agama bukanlah dengan logika. Agama bukan didasari pertama kali dengan logika. Bahkan sebenarnya dalil yang mantap dibangun di atas otak yang cemerlang. Jika tidak, maka perlu dipahami bahwa dalil shahih sama sekali tidak bertentangan dengan logika yang smart (cemerlang). Karena dalam Al Qur’an pun disebutkan,

أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Tidakkah kalian mau menggunakan akal kalian.” (QS. Al Baqarah: 44).

Yang menyelisihi tuntunan syari’at, itulah yang menyelisihi logika yang sehat. Makanya sampai ‘Ali mengatakan, seandainya agama dibangun di atas logika, maka tentu bagian bawah sepatu lebih pantas diusap. Namun agama tidak dibangun di atas logika-logikaan. Oleh karenanya, siapa saja yang membangun agamanya di atas logika piciknya pasti akan membuat kerusakan daripada mendatangkan kebaikan. Mereka belum tahu bahwa akhirnya hanya kerusakan yang timbul.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 370).

Guru kami, Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah berkata, “Hadits ‘Ali dapat diambil kesimpulan bahwa agama bukanlah berdasarkan logika. Namun agama itu berdasarkan dalil. Sungguh Allah sangat bijak dalam menetapkan hukum dan tidaklah Dia mensyari’atkan kecuali ada hikmah di dalamnya.” (Tashilul Ilmam, 1: 170).

Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh hafizhohullah berkata, “Hendaklah setiap muslim tunduk pada hadits yang diucapkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah sampai seseorang mempertentangkan dalil dengan logika. Jika logika saja yang dipakai, maka tidak bisa jadi dalil. Ijtihad dengan logika adalah hasil kesimpulan dari memahami dalil Al Qur’an dan hadits.” (Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, hal. 249).

Beberapa pelajaran dari hadits di atas:

Agama bukanlah dibangun di atas logika.
Seandainya berseberangan antara akal dan dalil, maka wajib mengedepankan dalil. Namun sebenarnya sama sekali tidak mungkin bertentangan antara dalil shahih dan akal yang baik.
Sandaran hukum syar’i adalah pada dalil. Karean ‘Ali pun beralasan yang diusup adalah atas khuf (sepatu) dengan perbuatan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika memandang tekstual hadits, kedua kaki diusap berbarengan, yaitu tangan kanan mengusap kaki kanan dan tangan kiri mengusap kaki kiri.
Hadits ini merupakan bantahan pada Rafidhah (baca: Syi’ah) karena imam mereka sendiri yaitu ‘Ali bin Abi Tholib yang mereka anggap ma’shum berbeda keyakinan dengan mereka. Karena orang Syi’ah tidak meyakini adanya mengusap khuf (sepatu). Sedangkan ‘Ali meyakini adanya mengusap khuf bahkan meriwayatkan hadits tentang hal itu. Namun anehnya, orang Syi’ah menganggap tidak boleh mengusap khuf, tetapi dalam hal mencuci kaki saat berwudhu, mereka menganggap boleh hanya dengan mengusap kaki kosong. Sungguh aneh!
Boleh berdalil dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Minhatul ‘Allam fii Syarhi Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, 9: 286-289.
Fathu Dzil Jalali wal Ikram bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, tahun 1425 H, 1: 370-374.
Subulus Salam Al Muwshilah ila Bulughil Marom, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, tahun 1432 H.
Syarh Kitab Ath Thoharoh min Bulughil Marom, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz, cetakan pertama, tahun 1433 H, hal. 249.
Tashil Al Ilmam bi Fiqhil Ahadits min Bulughil Marom, Syaikhuna (guru kami) Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, tahun 1430 H.

Selesai disusun tengah malam, Senin, 11 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

http://muslim.or.id/manhaj/seandainya-agama-dengan-logika.html

Penyimpangan Wanita Dalam Rumah Tangga

Posted by
Radio Sunnah Kita 94.3 FM

Bismillah,

Pecinta Radio Kita FM di postingan yang sebelumnya kita sudah membahas mengenai penyimpangan yang banyak dilakukan wanita dalam masalah aqidah dan rukun Islam. Selanjutnya dalam postingan ini kita akan membahas mengenai beberapa penyimpangan wanita dalam rumah tangga. Pembahasan ini penting diketahui oleh para muslimah agar mereka tidak terjerumus dalam banyak penyimpangan di rumah tangga mereka.

penyimpangan dlm rumah tanggaDiantara penyimpangan wanita dalam rumah tangga adalah:

1. Menggunakan bejana emas dan perak serta makan dan minum dengannya (misal sendok yang terbuat dari emas atau perak), padahal Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

لا تشرَبُوْا فِي آنِيَةِ الذهَب وَالفِضَّةِ وَلا تأكلوْا فِي صِحَافِهِمَا، فإنهَا لهُمْ فِي الدُنيَا وَ لكمْ فِي الآخِرَةِ

“Janganlah kalian minum meng-gunakan bejana emas dan perak, dan jangan pula makan dari piring emas dan perak, sesungguhnya benda-benda tersebut diperuntukkan bagi mereka (orang kafir) di dunia, sedangkan bagi kalian (orang mu’min) di akhirat.” (Muttafaq ‘Alaih)

Hikmah diharamkannya perbuatan tersebut karena terdapat sikap berlebih-lebihan, tinggi hati, sombong dan dapat menyakiti hati orang miskin. Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

إنَّ الذِي يَأكل أوْ يَشرَبُ فِي آنِيَةِ الذهَب أوْ الفِضَّةِ إنمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نار جَهَنم

“Sesungguhnya orang yang makan atau minum menggunakan bejana emas dan perak, maka akan bergolak api neraka dalam perutnya.”(HR. Muslim)

2. Menggantungkan gambar makhluk bernyawa di dinding atau meletakkannya di rak, hal ini banyak diremehkan manusia. Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

لا تدْخلُ المَلائِكة بَيْتًا فِيْهِ كلبٌ وَ لا صُوْرَة ٌ

“Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar makhluk bernyawa.“ (Muttafaq alaih)

3. Memerangi poligami, serta menganggap suami yang berpoligami termasuk suami yang mengkhianati isterinya dan berbuat zhalim terhadap hak isterinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فانكِحُوْا مَا طابَ لكمْ مِن النِسَاءِ مَثنىَ وَ ثلاث وَ رُبَاعَ

“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat .“ (Q.S. An-Nisaa: 3)

Ini masalah yang sangat berbahaya, dikhawatirkan wanita yang menentang dan memerangi masalah ini terjatuh dalam sikap membenci syari’at yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala turunkan, dan perbuatan ini akan menghapuskan (pahala) amal, wal’iyadzu billah. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

ذلِك بأنهُمْ كَرِهُوْا مَا أنزلَ اللهُ فأحْبَط أعْمَالهُمْ

“Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (Al-Qur’an) lalu Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka. “(Q.S. Muhammad : 9)

Maka wajib bagi setiap muslimah untuk ridho dan menerima syari’at Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :

وَمَا كان لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إذا قَضَى اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أمْرًا أن يَكوْنَ لهُمُ الخِيَرَةُ مِنْ أمْرِهِمْ وَ مَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فقدْ ضَلَّ ضَلالا مُبيْنا

“Dan tidaklah patut bagi mu’min dan mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata. “(Q.S. Al-Ahzab : 36)

4. Tidak mentaati suami, bahkan membantahnya, membentaknya, mengingkari kebai-kannya dan selalu berkeluh kesah, baik ada sebab ataupun tidak ada sebab. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda kepada bibi Hushoin Bin Muhshon Radiyallahu ‘anhu :

أيْنَ أنتِ مِنْهً فإنمَا هُوَ جَنتكِ وَ نارُكِ

(Lihatlah) di mana kedudukanmu terhadapnya? Sesungguhnya dia (suamimu) adalah surga dan nerakamu.“(HR. An-Nasaai, Al-Silsilah As-Shahihah No. 2612)

Hak suami yang harus ditunaikan oleh isterinya sangatlah besar dan mentaati suami adalah wajib. Maka bagaimana bisa seorang wanita meremehkan hak suami dan tidak mentaatinya, padahal Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

لوْ كنتُ آمِرًا أحَدًا أن يَسْجُدَ لِأحَدٍ، لأمَرْتُ المَرْأةَ أنْ تسْجُدَ لِزوْجِهَا

“Seandainya aku (boleh) memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, maka pastilah aku perintahkan seorang isteri untuk sujud kepada suaminya.“(HR. Tirmidzi dan Ahmad, Irwaul Ghalil, no. 1998)

5. Membatasi keturunan tanpa keadaan darurat, yang akan menyebabkan berkurangnya umat Islam. Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

تزوَّجُوْا الوَدُوْدَ الوَلوْدَ فإنِي مُكاثِرٌ بكمُ الأمَمِ

“ Nikahilah oleh kalian wanita yang penuh kasih dan banyak anak, sesungguhnya aku bangga dengan jumlah kalian yang banyak di hadapan umat lain. “(H.R Abu Dawud dan An-Nasaai, Al-Silsilah As-Shahihah,no. 283)

Mengapa membatasi keturunan, wahai saudariku? Apakah engkau takut tertimpa kemiskinan? atau engkau khawatir mereka tidak dapat makan dan minum?

Lupakah engkau bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberi rezeki padamu, maka Allah pula yang akan memberi rezeki pada anak-anakmu. Atau engkau takut badanmu rusak? kecantikanmu memudar, sebagaimana yang selalu didengungkan oleh musuh-musuh Islam ?

Ingatlah wahai sudariku muslimah, manusia apabila meninggal dunia akan terputus seluruh amalnya kecuali dari tiga hal, diantaranya adalah anak sholih yang mendo’akannya.

Jika engkau mempunyai banyak anak serta berusaha mendidik dan mengajari mereka tentang agama Islam maka engkau akan memetik buah kebahagiaan dari amal ini di akhirat kelak.

6. Sebagian wanita mengira dia tidak akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang kepemimpinannya dalam rumah tangga. Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda:

وَالمَرْأةُرَاعِية فِي بَيْتِ زوْجهَا وَ هِيَ مَسْؤوْلَة عَنْ رَعِيَّتِهَا

”Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan dia akan diminta tanggung jawab tentang kepemimpinannya.”(Muttafaq ‘alaih)

7. Kurang memperhatikan pendidikan islami untuk anak-anaknya, seperti: perayaan hari ulang tahun, memakai pakaian bergambar makhluk hidup, mengajari musik, tidak menganjurkan mereka untuk sholat di masjid, menghafal al-Qur’an dan tidak menanamkan jiwa cinta Islam kepada mereka

8. Sebagian wanita meremehkan kewajiban rumah tangga, seperti: membersihkan rumah, mencuci, memasak, serta mengabaikan hak suami seperti mempercantik diri dan berhias untuknya .

9. Meminta cerai pada suami tanpa alasan yang sesuai syariat . Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

أيُّمَا امْرَأةٍ سَألتْ زوْجَهَاَطلاقاً مِنْ غيْرِ بَأسٍ فحَرَامٌ عَليْهَا رَائِحَة الجَنةِ

“Wanita manapun yang me-minta cerai pada suaminya tanpa alasan yang syar’i, maka haram baginya (mencium) wangi surga.“(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, Shahih At-Targhib wa Tarhib No. 2018)

10. Membebani suami di luar kemampuannya, seperti: membeli barang-barang yang termasuk kebutuhan sekunder, hadiah atau baju-baju yang memerlukan banyak uang.

11. Menyebarkan pembicaraan, rahasia atau perselisihan antara suami isteri kepada keluarga atau teman-temannya, khususnya masalah yang sangat pribadi sekali terkait hubungan suami isteri, hal ini biasa dibicarakan dalam majlis-majlis wanita (kecuali yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala)

12. Berpuasa sunnah tanpa izin suami atau mempersilahkan seseorang masuk rumah tanpa izin suami. Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam bersabda :

لا يَحِلُّ لاِمْرَأةٍ أنْ تصُوْمَ وَزوْجُهَا

شَاهِدٌ إلا بإذنِهِ أوْ تأذن فِي بَيْتِهِ إلا بإذنِهِ

“Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya, atau mengizinkan (seseorang masuk) rumah suami kecuali dengan izinnya.“(HR. Bukhari)

Saudariku muslimah, inilah beberapa kemungkaran yang biasa dilakukan oleh wanita, maka waspada dan berhati-hatilah –Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberkahimu– jangan sampai terjerumus ke dalamnya, dan segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap kemungkaran yang pernah engkau lakukan serta bertekadlah untuk tidak mengulanginya lagi, sebelum kematian mendatangimu kemudian engkau menyesal akan tetapi penyesalan saat itu tidak akan bermanfaat.

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing dan memberi petunjuk kepada kita.

Semoga shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan untuk nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wassalam, keluarga dan sahabatnya. Wallahu Ta’ala A’lam.

Maroji :

Sab’uuna Mukholafah Taqo’u Fiihaa An-Nisaa, Muroja’ah dan Taqdim oleh Syaikh ‘Abdullah Bin ‘Abdurrahman Al-Jibrin رحمه الله , Dar Al-Qosim, Cetakan Pertama, tahun 1417 H. (dengan beberapa perubahan dan tambahan).

Ditulis oleh Ummu ‘Abdillah Lilis Ikhlasiyah Bintu Hasyim, Pengajar di Ponpes Assunnah Cirebon. Dari Majalah Al Bayan Edisi 7

Ada Pertemuan, Ada Perpisahan

Di mana ada pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Di mana ada awal, pasti akan ada akhir. That’s life. Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan yang lain, dan sebuah perpisahan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru. And that’s more about life.

Di dalam hidup, banyak orang yang datang dan pergi

Allah telah menjumpakan kita dengan orang-orang yang Dia telah gariskan dalam catatan takdir

Mereka pun datang silih berganti

Ada yang melintas dalam segmen singkat, namun membekas di hati.

Ada yang telah lama berjalan beiringan, tetapi tak disadari arti kehadirannya

Ada pula yang begitu jauh di mata, sedangkan penampakannya melekat di hati.

Ada yang datang pergi begitu saja seolah tak pernah ada.

Semua orang yang pernah singgah dalam hidup kita bagaikan kepingan puzzle

yang saling melengkapi dan membentuk sebuah gambaran kehidupan

Maka sudah fitrah, bila ada pertemuan pasti ada perpisahan..

Di mana ada awal, pasti akan ada akhir.

Akhir sebuah perjalanan, ia akan menjadi awal bagi perjalanan lainnya,,,

Sebuah perpisahan, ia akan menjadi awal pertemuan dengan sesuatu yang baru… well, That’s life must be

Ketika akhir sebuah perjalanan akan menjadi awal perjalanan yang lain, dan sebuah perpisahan akan menjadi pertemuan dengan sesuatu yang baru. And that’s more about life.

Kalau kita tidak bisa berjumpa lagi di dunia, moga Allah mengumpulkan kita di jannah (surga).

Semoga kita teringat akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menerangkan mengenai tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah pada hari yang tiada naungan selain dari-Nya. Di antara golongan tersebut adalah,

وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِى اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ

“Dua orang yang saling mencintai karena Allah. Mereka berkumpul dan berpisah dengan sebab cinta karena Allah.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031)

Orang yang mencinta akan dikumpulkan bersama orang yang dicinta di akhirat kelak.

Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan bahwa seseorang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kapan terjadi hari kiamat, wahai Rasulullah?”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.”Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Kalau begitu engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639)

Yang kami harap, moga persaudaraan kita tidak hanya di dunia, namun berakhir pula di jannah. Di dunia -selama hidup- moga kita saling menghendaki kebaikan satu dan lainnya.

By: Rumaysho.Com

http://rumaysho.com/faedah-ilmu/4269-ada-pertemuan-ada-perpisahan.html

Sebab-Sebab Terjadinya Penyimpangan Agama

Syaikh Nashir bin Abdil Karim Al ‘Aql

Hal-hal yang menjadi sebab menyimpangnya kelompok-kelompok sesat dari jalan sunnah itu banyak, diantaranya:

  1. Allah ‘Azza Wa Jalla memang telah menguji hamba-Nya dengan keburukan ataupun dengan kebaikan. Sebagaimana firman-Nya:

    وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً

    Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan” (QS. Al Anbiya: 35)

  2. Apa yang terjadi itu memang sudah sunnatullah pada hamba-Nya.

    وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

    mereka senantiasa berselisih pendapat.Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabb-mu” (QS. Huud: 118-119)

  3. Mengikuti hawa nafsu, prasangka dan mengikuti jalan setan.
  4. Fanatik golongan dan fitnah
  5. Adanya da’i-da’i yang mengajak pada kesesatan. Juga tasyabbuh kepada orang kafir serta kagum pada cara beragama mereka dan kagum jika berkumpul bersama mereka
  6. Taqlid buta. Sebagaimana perkataan mereka:

    بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا

    kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami” (QS. Al Baqarah: 170)

  7. Menerima agama-agama dan firqah-firqah sesat serta kaum yang bobrok. Sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits shahih:

    لتتبعن سنن من كان قبلكم شبراً بشبر، وذراعاً بذراع..” رواه البخاري(3456)، ومسلم(2669).

    sungguh kalian akan mengikuti sunnah orang-orang sebelum kalian (Yahudi dan Nasrani) sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta” (HR. Bukhari 3456, Muslim 2669)

  8. Tidak mau serius belajar agama (bodoh dalam urusan agama). Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

    “من يرد الله به خيراً يفقهه في الدين” رواه البخاري(71)، ومسلم(1037).

    Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, akan dipahamkan ilmu agama” (HR. Bukhari 71, Muslim 1037)

  9. Sering berdebat dan berbantah-bantahan dalam masalah agama.
  10. Mengatakan hal-hal tentang Allah atau tentang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tanpa didasari ilmu.
  11. Tidak menuntut ilmu secara talaqqi kepada para ulama ahlussunnah yang mapan ilmunya dan istiqamah.
  12. Sembarangan dalam mengambil sumber ilmu agama, diantaranya dengan mengambil sumber ilmu agama bukan dari Al Qur’an dan As Sunnah. Juga dengan mengambil ilmu dari opini-opini, atau apa yang enak menurut selera, atau dari hikayat-hikayat, mimpi-mimpi, ramalan-ramalan, atau semacamnya.
  13. Mengklaim bahwa ada orang yang ma’shum (tidak mungkin salah) selain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.
  14. Menerima pemikiran-pemikiran dan pandangan-pandangan soal agama dari orang-orang kafir dan orang-orang yang punya pemikiran nyeleneh.
  15. Menentang ajaran agama atau ekstrim dalam beragama.
  16. Berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam.

Dan sebab-sebab yang lainnya, sebagaimana telah ditunjukkan oleh dalil syar’i maupun oleh realita sejarah.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33575

Penerjemah: Yulian Purnama

Artikel Muslim.Or.Id

Dari artikel ‘Sebab-Sebab Terjadinya Penyimpangan Agama — Muslim.Or.Id